Dulunya Arya Jumadi hidup dari mengelap kaca mobil di kawasan lampu merah dan bahkan sempat bergabung dalam suatu geng yang mengakibatkannya dipenjara. Dia mulai dapat berbaur dengan anak-anak lain setelah dimulainya proyek CEP. Kini dia telah berkembang menjadi seorang pemuda yang jujur, bertanggung jawab, dan peduli. Pemuda berusia 26 tahun ini sudah menikah dan dikaruniai seorang anak, bekerja sebagai koordinator instruktur pelatihan daur ulang kertas dan koordinator usaha produksi kertas, serta pembimbing bagi anak-anak jalanan.
Selama ini, para anak jalanan umumnya dipandang secara sinis, diabaikan, bahkan diperlakukan secara diskriminatif oleh masyarakat. Masyarakat kerap tidak menyadari bahwa mereka ini sebenarnya masih memiliki masa depan asalkan didukung masyarakat sepenuh hati. Mari kita ambil Yayasan Setia Kawan Raharja (SEKAR) sebagai contoh. JICA pernah bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) tersebut karena konsistensi yang telah ditunjukkan SEKAR selama ini dalam memperbaiki hidup para anak jalanan, khususnya di wilayah Jakarta Utara, dengan harapan mereka tidak perlu kembali ke jalanan lagi untuk mencari nafkah.
SEKAR memulai kegiatannya pada 1997 sebagai sebuah "rumah singgah" untuk para anak jalanan – sebuah proyek pilot Departemen Sosial Republik Indonesia – dan disahkan sebagai suatu badan hukum berbentuk yayasan pada 2000 oleh karena para pekerja sosial yang tergabung di dalamnya tidak ingin kegiatan pembinaan anak jalanan berakhir bersama dengan proyek pilot tersebut. Pimpinan SEKAR, Dindin Komaruddin, mengatakan bahwa ada faktor kebetulan dalam terhubungnya LSM tersebut dengan JICA. "Selain faktor kebetulan (mendapatkan informasi tentang JICA) dari temen, kami juga menilai bahwa JICA merupakan lembaga yang memperhatikan pelestarian lingkungan, sehingga kegiatan anak-anak binaan dalam mengembangkan usaha dengan cara memanfaatkan sampah dan barang bekas akan menjadi daya tarik bagi JICA."
Kerjasama melalui skema CEP [1] -JICA tersebut difokuskan pada pelatihan mengenai daur ulang sampah (seperti kertas bekas) dan bahan tak terpakai lainnya (seperti pelepah pisang, eceng gondok) menjadi berbagai produk yang bernilai jual (seperti kertas hias, kotak kado). Ketika ditanya mengapa SEKAR memilih usaha kertas daur ulang sebagai kegiatan utamanya, urang Sunda berusia 37 tahun tersebut menjelaskan bahwa karena hal itu bisa dilakukan oleh siapa saja. "Mereka (red: para anak jalanan) tidak memerlukan keterampilan khusus untuk mempelajarinya. Anak yang hanya lulusan SD, bahkan yang tidak sekolah pun dapat melakukannya. Selain itu juga bahan baku (kertas bekas, pelepah pisang, eceng gondok) banyak tersedia. Kemudian pasar dari hasil produk ada," jawabnya.
Tantangan terbesar dari usaha ini bukanlah pada peningkatan keahlian, namun peningkatan kepercayaan anak-anak ini terhadap para pembinanya serta perubahan cara berpikir mereka dari mendapatkan uang secara instan dengan cara mengemis untuk dihabiskan langsung, menjadi berniat melalui proses untuk mendapatkan penghasilan yang tetap. Dindin, ayah dari dua anak laki-laki ini, menjelaskan, "Pola pikir anak-anak jalanan terbiasa dengan pola instan. Misal untuk cuci baju aja mereka susah, ga mau, karena lebih baik beli di Pasar Senen baju bekas dan celana bekas yang harganya cuma 20 ribu daripada mereka harus mencuci baju kotor mereka. Atau lebih baik mencari uang dengan mengamen daripada bekerja yang memerlukan kedisiplinan dan tanggung jawab. Dengan 1-2 kali naik bis, mereka sudah bisa dapat uang untuk makan."
Personil dan sukarelawan yang tergabung dalam SEKAR menyadari bahwa mereka harus sabar dalam menghadapi para anak jalanan. Ketika proyek CEP tersebut dimulai pada 2004, mayoritas anak binaan masih turun ke jalanan untuk mendapatkan uang saku. Pada awalnya, para pembina mengatur sedemikian rupa agar anak-anak tersebut masih bisa mencari uang di jalanan pada pagi dan malam hari, dan melakukan kegiatan usaha daur ulang kertas di SEKAR pada siang dan sore hari. Namun, sedikit demi sedikit waktu mereka di jalanan berkurang dan akhirnya banyak dari 45 anak binaan berusia antara 15 dan 21 tahun tersebut memfokuskan kreatifitasnya pada kegiatan daur ulang.
Sementara itu, ketika ditanya apa yang melatarbelakangi munculnya kepedulian terhadap masalah anak jalanan, Dindin – seorang lulusan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) di Bandung (Jawa Barat) – menjawab, "Mungkin karena saya pernah tinggal dengan mereka saat saya pertama datang ke Jakarta, saat sulit dapet kerja. Lama-kelamaan timbul rasa ingin belajar dan maju bersama mereka, karena saya liat mereka pun memiliki banyak potensi yang menurut saya sangat bisa dikembangkan. Saya banyak belajar dari mereka, tentang kerja keras, rasa persaudaraan yang tinggi, dan menikmati hidup."
Selama dua tahun masa proyek tersebut, Dindin mengungkapkan bahwa pengalaman yang paling mengesankan baginya adalah pada saat berkeliling daerah Pantai Ancol dan Danau Sunter bersama anak-anak binaan untuk mengumpulkan bahan-bahan mentah dengan menggunakan becak yang dibeli oleh SEKAR melalui proyek CEP tersebut. "Saya pake motor, anak-anak pake becak. Kadang-kadang saya juga naik di dalam becak tersebut, anak-anak yang ngayuh. (Sembari tertawa.) Kita menjadi kompak saat mencari bahan, walaupun harus basah-basahan dengan air danau yang bau. Tapi nikmat banget." Di lain pihak, Dindin juga mengingat betapa sulit awalnya ketika belajar membuat laporan keuangan dan kegiatan untuk JICA. "Dulu saya ga ngerti tentang penyusunan rencana kerja, penyusunan laporan kegiatan, mendisain kegiatan. Tapi setelah menangani proyek JICA, saya menjadi lebih terbiasa mengerjakan hal-hal semacam itu, menjadi lebih berdisiplin waktu, berdisiplin kerja, dan lain-lain. Saya juga menjadi terbiasa melakukan presentasi di depan banyak orang yang bukan berlatar anak jalanan. (Sembari tertawa.)"
Sejak berakhirnya proyek pada 2006, sebagian dari mereka telah memulai usaha berskala kecil (secara berkelompok ataupun perorangan): memproduksi dan memasarkan kertas hias (bahkan diekspor dengan skala kecil ke Jepang), kerajinan tangan dari kertas hias, keset dari karpet bekas, dan alat-alat refleksi dari kayu bekas. Bahkan sebagian dari mantan anak-anak binaan tersebut kini telah menjadi instruktur untuk seni daur-ulang dengan berbagai target, seperti usaha kecil dan menengah (UKM), masyarakat, perusahaan, dan sebagainya. Sementara itu, "Galeri K'Qta" yang awalnya dibentuk sebagai unit usaha SEKAR untuk mengembangkan kreatifitas dan menjual produk anak-anak binaan, telah menjadi usaha mandiri yang dikelola oleh beberapa mantan anak binaan.
Contoh lain adalah Aditya, yang dulu hidup dari mengamen di jalanan dan kerap keluar-masuk SEKAR. Namun dia juga mulai menetap dengan SEKAR setelah proyek CEP tersebut dimulai dan tidak pernah meninggalkannya dalam waktu yang lama. "(Dia telah berubah) Dalam hal kemandirian, menjadi tidak tergantung lagi pada belas kasihan orang lain. Mulai bisa mengatur penggunaan keuangan yang didapat," ujar Dindin dengan penuh bangga. Kini, pemuda berusia 20 tahun itu memproduksi kertas di "Galeri K'Qta" dan bekerja sebagai anggota tim tutorial dan instruktur di Yayasan Kumala.
Walaupun saat ini masih terdapat banyak anak yang hidup di jalanan siang dan malam, khususnya di Jakarta, satu anak meninggalkan kehidupan tersebut saja – seperti Arya dan Aditya – sudah merupakan keberhasilan. Melalui kegiatan ini, SEKAR telah menunjukkan bahwa masih ada harapan bagi anak-anak jalanan untuk memulai hidup baru yang lebih baik.
Follow us on Twitter:
@manfaatkertas
Instagram: kertasbermanfaat
Facebook: Kertas itu Bermanfaat (APP)
Instagram: kertasbermanfaat
Facebook: Kertas itu Bermanfaat (APP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar